MENELAAH STRUKTUR CERPEN
Kartu Pos
dari Surga
Agus Noor
Mobil jemputan sekolah belum lagi
berhenti, Bening langsung meloncat menghambur. “Hati-hati!” teriak sopir. Tapi
gadis kecil itu malah mempercepat larinya. Seperti capung ia melintas di
halaman. Ia ingin segera membuka kotak pos itu. Pasti kartu pos dari Mama telah
tiba. Di kelas, tadi, ia sudah sibuk membayang-bayangkan: bergambar apakah
kartu pos Mama kali ini? Hingga Bu Pendidik menegurnya karena terus-terusan
melamun.
Bening
tertegun, mendapati kotak itu kosong. Ia melongok, barangkali kartu pos itu
terselip di dalamnya. Tapi memang tak ada. Apa Mama begitu sibuk hingga lupa
mengirim kartu pos? Mungkin Bi Sari sudah mengambilnya! Bening pun segera
berlari berteriak, “Biiikkk…Bibiiikkk…” Ia nyaris terpeleset dan menabrak
pintu. Bik Sari yang sedang mengepel sampai kaget melihat Bening terengah-engah
begitu.
“Ada apa,
Non?”
“Kartu
posnya udah diambil Bibik, ya?”
Tongkat pel
yang dipegangnya nyaris terlepas, dan Bik Sari merasa mulutnya langsung kaku.
Ia harus menjawab apa? Bik Sari bisa melihat mata kecil yang bening itu
seketika meredup, seakan sudah menebak, karena ia terus diam saja. Sungguh, ia
selalu tak tahan melihat mata yang kecewa itu.
***
MARWAN hanya diam ketika Bik Sari
cerita kejadian siang tadi. “Sekarang, setiap pulang, Bening selalu nanya kartu
pos…” suara pembantunya terdengar serba salah. “Saya ndak tahu
mesti jawab apa…” Memang, tak gampang menjelaskan semuanya pada anak itu. Ia
masih belum genap 6 tahun. Marwan sendiri selalu berusaha menghindari jawaban
langsung bila anaknya bertanya, “Kok kartu pos Mama belum datang ya, Pa?”
“Mungkin Pak
Posnya lagi sakit. Jadi belum sempet
nganter ke mari…”
Lalu ia
mengelus lembut anaknya. Ia tak menyangka, betapa soal kartu pos ini akan
membuatnya mesti mengarang-ngarang jawaban.
Pekerjaan
Ren membuatnya sering bepergian. Kadang bisa sebulan tak pulang. Dari kota-kota
yang disinggahi, ia selalu mengirimkan kartu pos buat Bening. Marwan, kadang
meledek istrinya, “Hari gini masih pake kartu pos?” Karna Ren sebenarnya bisa
telepon atau kirim SMS. Meski baru playgroup, Bening sudah pegang hape.
Sekolahnya memang mengharuskan setiap murid punya handphone, agar
bisa dicek sewaktu-waktu, terutama saat bubaran sekolah, untuk berjaga-jaga
kalau ada penculikan.
“Kau memang
tak pernah merasakan bagaimana bahagianya dapat kartu pos…”
Marwan tak
lagi menggoda bila Ren sudah menjawab seperti itu. Sepanjang hidupnya, Marwan
tak pernah menerima kartu pos. Bahkan, rasanya, ia pun jarang dapat surat pos
yang membuatnya bahagia. Saat SMP, banyak temannya yang punya sahabat pena,
yang dikenal lewat rubrik majalah. Mereka akan berteriak senang bila menerima
surat balasan atau kartu pos, dan memamerkannya dengan membacanya keras-keras.
Karena iri, Marwan pernah diam-diam menulis surat untuk dirinya sendiri, lantas
mengeposkannya. Ia pun berusaha tampak gembira ketika surat yang dikirimkannya
sendiri itu ia terima.
Ren sejak
kanak sering menerima kiriman kartu pos dari Ayahnya yang pelaut. “Setiap kali
menerima kartu pos darinya, aku selalu merasa ayahku muncul dari negeri-negeri
yang jauh. Negeri yang gambarnya ada dalam kartu pos itu…” ujar Ren. Marwan
ingat, bagaimana semasa mereka pacaran, Ren bercerita dengan suara penuh
kenangan, “Aku selalu mengeluarkan semua kartu pos itu, setiap Ayah pulang.”
Ren kecil duduk di pangkuan, sementara Ayahnya berkisah keindahan kota-kota
pada kartu pos yang mereka pandangi. “Itulah saat-saat menyenangkan dan
membanggakan punya Ayah pelaut.” Ren merawat kartu pos itu seperti merawat
kenangan. “Mungkin aku memang jadul. Aku hanya ingin Bening punya
kebahagiaan yang aku rasakan…”
Tak ingin
berbantahan, Marwan diam. Meski tetap saja ia merasa aneh, dan yang lucu:
pernah suatu kali Ren sudah pulang, tetapi kartu pos yang dikirimkannya dari
kota yang disinggahi baru sampai tiga hari kemudian!
Ketukan di pintu membuat Marwan
bangkit, dan ia mendapati Bening berdiri sayu menenteng kotak kayu. Itu kotak
kayu pemberian Ren. Kotak kayu yang dulu juga dipakai Ren menyimpan kartu pos
dari Ayahnya. Marwan melirik jam dinding kamarnya. Pukul 11.20.
“Nggak bisa
tidur, ya? Mo tidur di kamar Papa?”
Marwan
menggandeng anaknya masuk.
“Besok Papa
bisa anter Bening nggak?” tiba-tiba
anaknya bertanya.
“Nganter ke
mana? Pizza Hut?”
Bening menggeleng.
“Ke mana?”
“Ke rumah
Pak Pos…”
Marwan
merasakan sesuatu mendesir di dadanya.
“Kalu emang
Pak Posnya sakit, biar besok Bening aja yang ke rumahnya, ngambil kartu pos
dari Mama.”
Marwan hanya
diam, bahkan ketika anaknya mulai mengeluarkan setumpuk kartu pos dari kotak itu.
Ia mencoba menarik perhatian Bening dengan memutar DVD Pokoyo,
kartun kesukaannya. Tapi Bening terus sibuk memandangi gambar-gambar kartu pos
itu. Sudut kota tua. Siluet menara dengan burung-burung melintas langit jernih.
Sepeda yang berjajar di tepian kanal. Pagoda kuning keemasan. Deretan kafe
payung warna sepia. Dermaga dengan deretan yacht tertambat.
Air mancur dan patung bocah bersayap. Gambar pada dinding gua. Bukit karang
yang menjulang. Semua itu menjadi tampak lebih indah dalam kartu pos. Rasanya,
ia kini mulai dapat memahami, kenapa seorang pengarang bisa begitu terobsesi
pada senja dan ingin memotongnya menjadi kartu pos buat pacarnya.
Andai ada
Ren, pasti akan dikisahkannya gambar-gambar di kartu pos itu hingga Bening
tertidur. Ah, bagaimanakah ia mesti menjelaskan semuanya pada bocah itu?
“Bilang saja
Mamanya pergi…” kata Ita, teman sekantor, saat Marwan makan siang bersama.
Marwan masih ngantuk, karena baru tidur menjelang jam lima pagi, setelah Bening
pulas.
“Bagaimana
kalau ia malah terus bertanya, kapan pulangnya?”
“Ya sudah,
kamu jelaskan saja pelan-pelan yang sebenarnya.”
Itulah. Ia
selalu merasa bingung, dari mana mesti memulainya? Marwan menatap Ita, yang
tampak memberi isyarat agar ia melihat ke sebelah. Beberapa rekan sekantornya
terlihat tengah memandang mejanya dengan mata penuh gosip. Pasti mereka menduga
ia dan Ita…
“Atau kamu
bisa saja tulis katu pos buat dia. Seolah-oleh itu dari Ren..”
Marwan
tersenyum. Merasa lucu karena ingat kisah masa lalunya.
***
MOBIL jemputan belum lagi berhenti
ketika Marwan melihat Bening meloncat turun. Marwan mendengar teriakan sopir
yang menyuruh hati-hati, tetapi bocah itu telah melesat menuju kotak pos di
pagar rumah. Marwan tersenyum. Ia sengaja tak masuk kantor untuk melihat Bening
gembira ketika mendapati kartu pos itu. Kartu pos yang diam-diam ia kirim. Dari
jendela ia bisa melihat anaknya memandangi kartu pos itu, seperti tercekat,
kemudian berlarian tergesa masuk rumah.
Marwan
menyambut gembira ketika Bening menyodorkan kartu pos itu.
“Wah, udah
datang ya kartu posnya?”
Marwan
melihat mata Bening berkaca-kaca.
“Ini bukan
kartu pos dari Mama!” Jari mungilnya menunjuk kartu pos itu. “Ini bukan tulisan
Mama…”
Marwan tak
berani menatap mata anaknya, ketika Bening terisak, dan berlari ke kamarnya.
Bahkan membohongi anaknya saja ia tak bisa! Barangkali memang harus berterus
terang. Tapi bagaimanakah menjelaskan kematian pada anak seusianya? Rasanya
akan lebih mudah bila jenazah Ren terbaring di rumah. Ia bisa membiarkan Bening
melihat Mamanya terakhir kali. Membiarkannya ikut ke pemakaman. Mungkin ia akan
terus-terusan menangis karena merasakan kehilangan. Tetapi rasanya jauh lebih
mudah menenangkan Bening dari tangisnya, ketimbang harus menjelaskan bahwa
pesawat Ren jatuh ke laut, dan mayatnya tak pernah ditemukan.
***
KETUKAN gugup di pintu membuat
Marwan bergegas bangun. Duabelas lewat, sekilasa melihat jam kamarnya.
“Ada apa?”
arwan mendapati Bik Sari yang pucat.
“Bening…”
Terburu
Marwan mengikuti Bik Sari. Dan ia tercekat di depan kamar anaknya. Ada cahaya
terang keluar dari celah pintu yang bukan cahaya lampu. Cahaya yang terang
keperakan. Dan ia mendengar Bening yang cekikikan riang, seperti tengah
bercakap-cakap dengan seseorang. Hawa dingin bagai merembes dari dinding. Bau
wangi yang ganjil mengambang. Dan cahaya itu makin menggenangi lantai. Rasanya
ia hendak terserap amblas ke dalam kamar.
“Bening!
Bening!” Marwan segera menggedor pintu kamar yang entah kenapa begitu sulit ia
buka. Ia melihat ada asap lembut, serupa kabut, keluar dari lubang kunci. Bau
sangit membuatnya tersedak. Lebih keras dari bau amoniak. Ia menduga terjadi
kebakaran, dan makin panik membayangkan api mulai melahap kasur.
“Bening!
Bening!” Bik Sari ikut berteriak memanggil.
“Buka
Bening! Cepat buka!”
Entahlah
berapa lama ia menggedor, ketika akhirnya cahaya keperakan itu seketika lenyap,
dan pintu terbuka. Bening berdiri sambil memegangi selimut. Segera Marwan
menyambar mendekapnya. Ia melongok ke dalam kamar, tak ada api, semua rapi.
Hanya kartu pos-kartu pos yang beserakan.
“Tadi Mama
datang,” pelan Bening bicara. “Kata Mama tukang posnya emang sakit, jadi Mama
mesti nganter kartu posnya sendiri…”
Bening
mengulurkan tangan. Marwan mendapati sepotong kain serupa kartu pos dipegangi
anaknya. Marwan menerima dan mengamati kain itu. Kain kafan yang tepiannya
kecoklatan bagai bekas terbakar.
Kerjakan
soal di bawah ini!
1. Telaahlah struktur teks cerita pendek di atas disertai bukti tekstualnya!
2. Tentukan
ciri-ciri kebahasaan teks cerpen tersebut
diserai bukti tekstualnya!
No.
|
Struktur
teks cerpen
|
Hasil penelaahan
dan Bukti faktual
|
1.
|
Orientasi
|
|
2
|
Rangkaian peristiwa
|
|
3
|
Komplikasi
|
|
4
|
Resolusi
|
|
No.
|
Ciri =
ciri kebahasaan
|
Hasil penelaahan
dan Bukti faktual
|
1.
|
Kata/ kalimat deskripsi
|
|
2
|
Kata/kalimat ekspresif
|
|
3
|
Majas
|
|
Komentar
Posting Komentar